5 Oktober 2010

That Evil Circle

Kali ini saya mau cerita tentang dua orang perempuan yang besar di tengah latar belakang yang sangat berbeda. Yang satu bernama Sumarni, satu lagi bernama Widi.


Biar saya cerita dulu kehidupan Sumarni.

Sejak kecil dia diasuh oleh neneknya yang cukup mapan untuk membiayai dia sekolah. Tapi sang nenek rupanya sangat kuno sehingga ia berpikir bahwa Sumarni tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh ia akan jadi ibu rumah tangga yang lingkup kerjanya hanya di sumur, dapur dan kasur. Yaa bisa baca dan tulis saja cukup laaah. Yang penting Sumarni terampil dalam urusan domestik. Alah bisa karena biasa. Sumarni terampil sekali dalam urusan "keputrian". Dapur adalah singgasananya dan rumah adalah kerajaannya.

Seperti juga perempuan Jawa lainnya, Sumarni dibesarkan dengan doktrin Manut. Jadilah Sumarni perempuan yang sangat manut. Terhadap apapun. Neneknya dan pola didiknya yang membelenggu, terhadap suami, terhadap lingkungan dan terutama terhadap nasib. Rasa nrimo Sumarni menjadi sangat tinggi. Ia seperti sudah menyerahkan diri pada hidup karena cuma cara itu yang ia tahu. Karena dibesarkan dengan penuh pembatasan, jadilah Sumarni perempuan dengan pola pikir serba terbatas. Punya banyak sekali ketakutan, kekhawatiran dan ini berimbas buruk pada anaknya. Ia mengulang  siklusnya. Sang anak yang sangat berprestasi dalam olahraga dilarang untuk mengikuti berbagai lomba diluar daerah mereka tinggal. Ini itu dilarang padahal anaknya punya potensi besar untuk jadi aset daerah. Lagi-lagi soal pembatasan. Karena cuma itu yang Sumarni tahu.



Ok, sudah cukup soal Sumarni, sekarang saya mau cerita tentang perempuan kedua. Namanya Widi.

Ia dititipkan pada saudara yang ningrat kaya karena ibunya terlalu miskin untuk membesarkan tujuh anak sepeninggal suaminya. Karena tinggal menumpang orang, widi harus tahu diri. Cita-citanya menjadi penyanyi harus ia kubur dalam-dalam karena induk semangnya cuma ingin ia belajar, bukan bernyanyi.

Seperti juga Sumarni, Widi pun mengalami banyak pembatasan. Ya jatah makan, ya jatah keluar rumah untuk bermain, dan lain-lain.  Tapi dasar Widi anak yang tak mau dibatasi. Diam-diam ia ikut lomba bintang radio dan menang! sejak itu ia jadi populer di sekolah. Widi sang primadona. Tapi ia tahu, cita-citanya cuma bisa sampai disitu. Tak ada gunanya menyulut kemarahan sang induk semang yang selama ini sudah banyak berjasa menyelamatkan ia dari kemiskinan dan membuat ia bisa sekolah. Widi pun tak lagi bernyanyi didepan orang banyak. Cuma dikamar mandi saja ia masih bisa sedikit bersenandung. Senandung lirih....
 
Dalam senandungnya widi berjanji, apapun yang terjadi pada masa depannya, jika pun nanti ia punya anak, anaknya tidak akan merasakan apa yang ia rasakan. Dibatasi itu tidak enak. Dipaksa mengubur potensi diri itu menyakitkan.Cukup sampai dirinya.


Sumarni adalah ibu mertua saya dan Widi adalah mama saya. Merasa familiar dengan potret hidup mereka berdua?  

Lewat tulisan ini saya cuma mau bilang , Lingkaran itu ada, siklus itu sudah terlanjur bergulir. Tapi pilihannya ada pada kita. Mau putuskan lingkarannya atau teruskan siklusnya?

2 komentar:

  1. Zaman memang sudah berubah,tapi terkadang tidak sepenuh nya kita tetap bisa menjadi diri sendiri atau jangan2 karena rasa "pakewuh" org jawa itu jd membuat pembatasan diri ....

    BalasHapus

share us something