9 Februari 2010

Kematian

Dua kematian. Dua kematian beruntun dalam keluarga besar saya dua minggu yang lalu membuat kami syok. Dua-duanya pakde saya, dua-duanya meninggal selang 8 hari setelah yang pertama. Mereka abang-abangnya ibu saya. Pakde yang satu meninggal sangat mendadak terkena serangan jantung yang rupanya tak pernah ia sadari. Pakde yang satu lagi meninggal karena sakit, setelah bertahun-tahun kesehatannya terus merosot.

Saya sedih. Rasanya ingin menangis meraung-raung karena saya sayang kedua almarhum. Tapi menangisi yang meninggal kan hukumnya makruh, jadi di pemakaman mereka saya mengatupkan mulut erat-erat menahan isak, meski air mata saya membanjir deras seperti sungai.

Pakde yang wafat pertama meninggalkan kenangan manis di masa kecil saya. Ia orang yang kalem, lembut dan kebapakan. Ia suka mengajak anak-anak dan keponakannya jalan-jalan dan makan-makan. Saya ingat senyumnya yang lembut dan tatapannya yang teduh saat melihat saya makan dengan lahap. "Pelan-pelan, Retno..." Katanya menahan tawa. Pakde saya yang ini suka mengajak kami ke taman bermain. Ke Dufan, ke Taman Mini, ke Ragunan. 

Pakde yang menyusulnya menghadap Sang Khalik adalah abangnya. Ia pensiunan tentara Infantri. Tentara perang. Ia punya banyak cerita perang saat TNI melawan Fretilin di Timor Timur dulu. Ia orang yang tegas, disiplin dan serius. Tetapi ia menyukai kucing seperti saya. Saya ingat suatu hari saya datang ke rumahnya untuk numpang menangis karena patah hati. Ia memanggil saya dan menyuruhnya duduk di sebelahnya.
"Retno, kalau kamu sedang sedih, ambil air wudhu dan sholatlah," ujarnya.

Ketika ia sakit dan terbaring tak berdaya di ranjangnya, saya sempat ikut merawatnya sebentar. Ia suka menggenggam erat tangan saya seolah tak ingin saya pergi sampai ia tertidur.

Lalu mereka meninggal dunia. Mendahului kami semua. Kematian yang harus kami terima, tentu saja. Karena segalanya hanya milik Allah semata.

Saya melihat ibu saya menangis, ayah saya tertunduk di sisi liang lahat. Tiba-tiba saya sadar, bahwa suatu hari saya pun harus ikhlas kehilangan mereka. Tidak, saya takut kehilangan mereka. Saya belum siap tanpa mereka. Benar kata sepupu saya yang kehilangan ayahnya itu. Ia berbisik di telinga saya saat penguburan ayahnya.
"No, kamu harus membahagiakan orangtuamu selagi mereka masih ada. Jangan menunggu sebelum semuanya terlambat..."

Tuhan, segala daya upaya adalah kehendakMu. Kehidupan dan kematian adalah milikMu. Tapi berilah saya kesempatan untuk membahagiakan mereka sebelum Kau ambil mereka dari sisiku. Amin.

7 komentar:

  1. Damn! aaah ennooo! gw jadi sediiih, jadi inget nyokap

    BalasHapus
  2. mba...tulisanx mba enno bisa saia terenyuh...kembali mengingat...apakah selama ini saya sudah m'bahagiakan orang tua saya???

    BalasHapus
  3. hmmm...
    tentang dua kematian..?

    a bit relevan dengan ceritaku...

    http://www.facebook.com/profile.php?v=app_2347471856&id=1279451934#!/note.php?note_id=241424691501

    salam kenal...

    BalasHapus
  4. turut berduka cita. semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
    terima kasih karena posting ini mengingatkan saya untuk membahagiakan orangtua saya.

    BalasHapus
  5. @brokoli: memang sengaja, berbagi pencerahan hehe

    @chiekebvo: nah kalo gitu jgn smp telat :)

    @dandy: salam kenal juga :)

    @Ra-Kun: terima kasih juga utk doanya ya...

    BalasHapus
  6. Amien. Harapanmu sama denganku. Aku pengen bisa buat kedua orang tuaku bangga punya anak macam aku.

    BalasHapus
  7. @sari: amin juga.... semoga terkabul ya sar :)

    BalasHapus

share us something