22 Januari 2012
Rindu
Dear You, Long weekendku akhirnya isinya cuma merindukan kamu. Kamu yang masih super sibuk justru semakin sibuk di hari libur seperti ini.
hahaa..poor me..kamu sibuk, aku lagi gak sibuk, jadinya malah sibuk gangguin kamu pakai sms-sms gak penting sekedar mengingatkan aku masih ada di dunia ini :D #geje.
You : " Kamu kenapa ? "
Me : *Nyengir kucing*, "gak papa hehee..."
*Mau ngomong rindu aja kok susahnya minta ampun :P*
11 Januari 2012
Mandor
Mereka yang biasa berurusan dengan mendiang Ibu lalu berurusan dengan saya biasanya terkaget-kaget. Itulah yang terjadi pada Tante saya kemarin sore.
Ceritanya, ia akan membangun pabrik pengolahan limbah plastik menjadi bijih plastik. Saya diberi tugas menjadi caretaker-nya. Mulai dari bersih-bersih lahan yang akan dipakai bangunan sampai nanti kalau pabrik sudah berdiri. Mengurusi bahan baku, para buruh, dan lain-lain.
Padahal saya masih punya dua proyek buku. Satu novel (lagi) dan satu kumpulan cerpen. Tapi pekerjaan ini sepertinya menantang sekali. Dan bagi saya, segala hal yang berbau tantangan itu menarik dan tidak boleh dilewatkan.
"Orang-orang yang membersihkan lahan itu kan harus diberi makan ya Mbak?" Tanya tante saya. Ia biasa memanggil saya 'Mbak', meniru anak-anaknya. "Suruh saja orang memasak."
Cuma tiga orang kan? Biar saya saja, kata saya. Apa susahnya memasak buat tiga orang.
Lalu Tante memberikan sejumlah uang untuk dana operasional.
"Ini kurang lho, Tan," ujar saya tanpa tedeng aling-aling.
"Kok kurang?" Tante saya memperhatikan lembaran-lembaran seratus ribuan yang sudah saya terima dan sedang saya kibar-kibarkan.
"Kurang. Serius deh. Yuk Tan, kita hitung!"
Saya mengambil kertas, pensil dan kalkulator. Mulai merinci setiap hal apa saja yang biasanya akan muncul dalam pekerjaan membersihkan lahan. Selain makan nasi dan lauk pauk, juga ada rokok, kopi, cemilan, teh panas.
"Rokok mengambil porsi dana yang paling besar dalam sehari, Tan," kata saya. "Tiga orang tiga bungkus. Kalau satu bungkus rokok itu seharga tujuh sampai delapan ribu saja, dikali tiga sudah berapa tuh? Itu untuk sehari. Kalau pembersihan lahannya memakan waktu sampai seminggu, untuk rokok saja uang segini masih kurang." Saya nyengir.
Saya juga menghitung kopi dan gula, juga cemilan untuk tiga orang. Teh panas juga saya labeli biaya. Bahkan bahan bakar juga.
"Memasak dan menjerang air menggunakan gas. Setidaknya kita harus hitung biaya pembelian gas ukuran 3 kilogram. Cukuplah itu untuk memasak sekitar satu-dua minggu."
Tante saya terbengong-bengong. Saya tahu ia agak syok. Biasanya kalau urusan menjadi caretaker itu ditransaksikan dengan Ibu, tidak akan ada hitung-hitungan detail seperti yang saya lakukan. Ibu pasrah saja diberi berapa pun dana operasional. Ujung-ujungnya pasti nombok. Tetapi Ibu saya yang baik hati itu tidak akan meminta uang ganti. Meskipun urusannya berkaitan dengan bisnis.
Prinsip saya jelas berbeda. Yang akan dibangun ini pabrik. Urusan bisnis. Bagi saya yang memang digembleng zakelijk (saklek) di kampus hukum dulu, segala sesuatu harus ditempatkan sesuai dengan tujuannya. Business is business. Orang Betawi bilang : kagak ade urusannye ame sudare. Saya tidak mau uang saya terpakai untuk urusan bisnis orang lain. Kalaupun harus terpakai dulu, saya akan minta ganti.
"Nah, kalau pekerjaan ini sampai lima hari saja, uangnya kurang kan Tan?" Saya nyengir lagi.
Tante saya tak berkata apa-apa. Ia mengeluarkan lagi beberapa lembar seratus ribuan dari tasnya.
"Nanti Tante tinggal lihat catatan pengeluarannya." Saya mengacungkan buku notes yang sudah saya siapkan sejak pagi.
"Buku buat apa itu?"
"Buku kas dong."
Tante saya geleng-geleng kepala. Pasti dia tambah heran. Urusan tiga orang pekerja saja kok ribet betul. Ia tidak tahu bahwa soal uang orang lain, saya ini selalu hati-hati. Jangan sampai ada yang bilang saya menilap. Lagipula saya memang selalu sungguh-sungguh kalau diberi tanggungjawab.
Lalu Tante saya mulai membicarakan lagi soal pabriknya dan mesin-mesin yang akan datang beberapa hari lagi. Mengulangi lagi 'sabdanya' agar saya menjadi caretaker.
"Gaji bulanan kan?" Lagi-lagi saya 'ngelunjak'.
"Iya."
"Di atas UMR lho, Tan."
"Iyaaa."
"Sip, sip!" Saya bertepuk tangan. "Oh iya Tante, kursnya dollar kan?"
Tante saya melotot.
Oke, itu pertanyaan yang salah. Jadi saya kabur. Sambil cengengesan tentu saja. Hahaha.
Ceritanya, ia akan membangun pabrik pengolahan limbah plastik menjadi bijih plastik. Saya diberi tugas menjadi caretaker-nya. Mulai dari bersih-bersih lahan yang akan dipakai bangunan sampai nanti kalau pabrik sudah berdiri. Mengurusi bahan baku, para buruh, dan lain-lain.
Padahal saya masih punya dua proyek buku. Satu novel (lagi) dan satu kumpulan cerpen. Tapi pekerjaan ini sepertinya menantang sekali. Dan bagi saya, segala hal yang berbau tantangan itu menarik dan tidak boleh dilewatkan.
"Orang-orang yang membersihkan lahan itu kan harus diberi makan ya Mbak?" Tanya tante saya. Ia biasa memanggil saya 'Mbak', meniru anak-anaknya. "Suruh saja orang memasak."
Cuma tiga orang kan? Biar saya saja, kata saya. Apa susahnya memasak buat tiga orang.
Lalu Tante memberikan sejumlah uang untuk dana operasional.
"Ini kurang lho, Tan," ujar saya tanpa tedeng aling-aling.
"Kok kurang?" Tante saya memperhatikan lembaran-lembaran seratus ribuan yang sudah saya terima dan sedang saya kibar-kibarkan.
"Kurang. Serius deh. Yuk Tan, kita hitung!"
Saya mengambil kertas, pensil dan kalkulator. Mulai merinci setiap hal apa saja yang biasanya akan muncul dalam pekerjaan membersihkan lahan. Selain makan nasi dan lauk pauk, juga ada rokok, kopi, cemilan, teh panas.
"Rokok mengambil porsi dana yang paling besar dalam sehari, Tan," kata saya. "Tiga orang tiga bungkus. Kalau satu bungkus rokok itu seharga tujuh sampai delapan ribu saja, dikali tiga sudah berapa tuh? Itu untuk sehari. Kalau pembersihan lahannya memakan waktu sampai seminggu, untuk rokok saja uang segini masih kurang." Saya nyengir.
Saya juga menghitung kopi dan gula, juga cemilan untuk tiga orang. Teh panas juga saya labeli biaya. Bahkan bahan bakar juga.
"Memasak dan menjerang air menggunakan gas. Setidaknya kita harus hitung biaya pembelian gas ukuran 3 kilogram. Cukuplah itu untuk memasak sekitar satu-dua minggu."
Tante saya terbengong-bengong. Saya tahu ia agak syok. Biasanya kalau urusan menjadi caretaker itu ditransaksikan dengan Ibu, tidak akan ada hitung-hitungan detail seperti yang saya lakukan. Ibu pasrah saja diberi berapa pun dana operasional. Ujung-ujungnya pasti nombok. Tetapi Ibu saya yang baik hati itu tidak akan meminta uang ganti. Meskipun urusannya berkaitan dengan bisnis.
Prinsip saya jelas berbeda. Yang akan dibangun ini pabrik. Urusan bisnis. Bagi saya yang memang digembleng zakelijk (saklek) di kampus hukum dulu, segala sesuatu harus ditempatkan sesuai dengan tujuannya. Business is business. Orang Betawi bilang : kagak ade urusannye ame sudare. Saya tidak mau uang saya terpakai untuk urusan bisnis orang lain. Kalaupun harus terpakai dulu, saya akan minta ganti.
"Nah, kalau pekerjaan ini sampai lima hari saja, uangnya kurang kan Tan?" Saya nyengir lagi.
Tante saya tak berkata apa-apa. Ia mengeluarkan lagi beberapa lembar seratus ribuan dari tasnya.
"Nanti Tante tinggal lihat catatan pengeluarannya." Saya mengacungkan buku notes yang sudah saya siapkan sejak pagi.
"Buku buat apa itu?"
"Buku kas dong."
Tante saya geleng-geleng kepala. Pasti dia tambah heran. Urusan tiga orang pekerja saja kok ribet betul. Ia tidak tahu bahwa soal uang orang lain, saya ini selalu hati-hati. Jangan sampai ada yang bilang saya menilap. Lagipula saya memang selalu sungguh-sungguh kalau diberi tanggungjawab.
Lalu Tante saya mulai membicarakan lagi soal pabriknya dan mesin-mesin yang akan datang beberapa hari lagi. Mengulangi lagi 'sabdanya' agar saya menjadi caretaker.
"Gaji bulanan kan?" Lagi-lagi saya 'ngelunjak'.
"Iya."
"Di atas UMR lho, Tan."
"Iyaaa."
"Sip, sip!" Saya bertepuk tangan. "Oh iya Tante, kursnya dollar kan?"
Tante saya melotot.
Oke, itu pertanyaan yang salah. Jadi saya kabur. Sambil cengengesan tentu saja. Hahaha.
pict from here |
7 Januari 2012
I dont argue like this with anyone but you
I know it’s not perfect, but it’s life. Life is messy sometimes.
(Edward Levangie in Grey’s Anatomy)
(Edward Levangie in Grey’s Anatomy)
Sudah bulan keempat dan entah sudah pertengkaran keberapa kali yang kami lalui.
"Memang menurut kamu ini berantem?"
"Ya kamu tiba-tiba marah dan ngediemin aku?"
"Terus apa bedanya berantem dan aku ngediemin kamu?"
"Ya karena berantem kamu jadi gak peduli, kan. Emang menurut kamu apa bedanya?"
"Gak tau"
Pertengkaran konyol. Polanya selalu sama. Terutama menjelang deadline bab.1 skripsi kami dan tekanan tugas akhir semester. Dan di tengah-tengah hal konyol begini, di tengah kejaran deadline yang tidak mengenal ampun, masih bisa-bisanya aku tersenyum dan menyadari bahwa di saat begini justru aku makin sayang sama laki-laki kepala batu satu itu.
Awas kamu, ketemu nanti aku jitak (dengan penuh kasih sayang).
Langganan:
Postingan (Atom)