Bu, Retno memasak acar kuning hari ini. Mentimun dan wortel yang ada di kulkas sejak Ramadhan terakhir kemarin. Ibu ingin memasaknya untuk buka puasa, tapi tak jadi. Sayur kacang dulu saja, kata Retno. Ibu menurut saja.
Ibu ingin makan dengan acar kuning ya, Bu? Ini Retno buatkan untuk Ibu. Mungkin agak terlalu asin karena tetesan air mata yang jatuh ke bumbunya. Ibu terbaring saja tak bergerak di ranjang rumah sakit itu. Lalu bagaimana acar kuningnya? Bukalah matamu, Bu. Jangan diam tak bergerak begitu. Apa Ibu tidak mau merasakan acar kuning paling enak yang pernah Retno buat? Yang lain sudah mencicipi dan bilang begitu.
Bu, bangun, Bu. Lalu acar kuning ini untuk siapa? Ini Retno buatkan untuk Ibu, bukan untuk yang lain. Retno menyesal mencegah Ibu memasaknya waktu itu. Mungkin Ibu sedang ingin acar kuning, tapi mengalah padaku.
Ini acar kuning yang dibumbui penyesalan dan permohonan maaf. Retno menyesal selalu menyusahkan Ibu. Retno selalu menentang Ibu. Membantah dan memberontak. Maafkan Retno, Bu. Jangan hukum Retno dengan cara seperti ini. Jangan mengabaikan Retno dengan diam saja begitu.
Buka matamu, Bu. Tolong lihat Retno sebentar saja. Ini anakmu yang paling menyusahkan itu hendak memohon ampun padamu. Tolonglah jangan kemana-mana. Tetap bersama kami. Retno janji tidak akan pernah menyusahkan Ibu lagi.
Acar kuningnya Retno simpan di kulkas ya. Berharap ada mukjizat Ibu pulang ke rumah besok lusa. Dan suara Ibu yang nyaring dan ceria itu membahana lagi di rumah ini. "Ini acar dari mana?" Pasti Ibu akan berseru begitu saat membuka kulkas. "Retnoooo.... kenapa acarnya tidak dipanaskan!"
Ibu, ternyata Retno lebih memilih Ibu yang cerewet dan wara-wiri terus itu, daripada hanya diam begitu. Retno kangen Ibu. Kangen suara Ibu mengomel meski untuk hal-hal sepele.
Ibu, please cerewet lagi saja. Asal Ibu baik-baik saja.
_______________________
Ibu saya selalu memanggil saya 'Retno', nama jelas saya. Itu artinya permata, katanya.